Kebijakan
Pemerintah
Pengertian
kebijakan pemerintah pada prinsipnya dibuat atau atas dasar kebijakan yang bersifat
luas. Menurut Werf (1997) yang dimaksud dengan kebijakan adalah usaha mencapai
tujuan tertentu dengan sasaran tertentu dan dalam urutan tertentu. Sedangkan
kebijakan pemerintah mempunyai pengertian baku yaitu suatu keputusan yang
dibuat secara sistematik oleh pemerintah dengan maksud dan tujuan tertentu yang
menyangkut kepentingan umum (Anonimous, 1992).
Sesuai dengan
sistem administrasi Negara Republik Indonesia kebijakan dapat terbagi 2 (dua)
yaitu :
1. Kebijakan
internal (manajerial), yaitu kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat
aparatur dalam organisasi pemerintah sendiri.
2. Kebijakan
eksternal (publik), suatu kebijakan yang mengikat masyarakat umum. Sehingga
dengan kebijakan demikian kebijakan harus tertulis.
Pengertian
kebijakan pemerintah sama dengan kebijaksanaan berbagai bentuk seperti misalnya
jika dilakukan oleh Pemerintah Pusat berupa Peraturan Pemerintah (PP),
Keputusan Menteri (Kepmen) dan lain-lain. Sedangkan jika kebijakan pemerintah
tersebut dibuat oleh Pemerintah Daerah akan melahirkan Surat Keputusan (SK),
Peraturan Daerah (Perda) dan lain-lain.
Kebijakan Moneter 13 Desember 1965
Mulai tahun 1960, kebutuhan anggaran pemerintah
untuk proyek-proyek politik semakin meningkat akibat isu konfrontasi yang terus
dilakukan dengan Belanda dan Malaysia. Hal ini juga disebabkan oleh besarnya
pengeluran pemerintah untuk membiayai proyek-proyek mercusuar, seperti Games of
the New Emerging Forces (Ganefo) dan Conference of the Emerging Forces
(Conefo). Dalam rangka mempersiapkan kesatuan moneter di seluruh wilayah
Indonesia, pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah menerbitkan sebuah alat
pembayaran yang sah yang berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia melalui
Penetapan Presiden (Penpres) No. 27/1965. Ketentuan tersebut mencakup nilai
perbandingan antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama dan uang rupiah
khusus untuk Irian Barat -Rp 1 (baru) = Rp 1.000 (lama) dan Rp 1 (baru) = IB Rp
1-, serta pencabutan uang kertas Bank Negara Indonesia, uang kertas dan uang
logam pemerintah yang telah beredar sebelum diberlakukannya Penpres tersebut.
Sejak saat itu sampai bulan Agustus 1966, uang rupiah baru dan uang rupiah lama
beredar bersama-sama. Untuk menghilangkan dualisme tersebut, semua instansi
swasta diwajibkan untuk menggunakan nilai uang rupiah baru dalam perhitungan
harga barang dan jasa serta keperluan administrasi keuangan. Meskipun uang
rupiah baru bernilai 1.000 kali uang rupiah lama, tidak berarti bahwa
harga-harga menjadi seperseribu harga lamanya. Kebijakan ini justru
meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang beredar, dan inflasi.
Bayangkan bila dalam suatu negara terdapat beberapa
jenis mata uang yang berlaku dengan nilai tukar yang berbeda-beda. Hal itu
tentu saja, akan menyebabkan situasi moneter negara tersebut kacau balau.
Keadaan tersebut pernah dialami Indonesia pada kurun waktu 1960-an. Dalam
rangka menciptakan kesatuan moneter, pemerintah, melalui Penetapan Presiden (Penpres)
No. 27 tahun 1965, menerbitkan uang rupiah baru untuk menggantikan uang rupiah
lama dan uang rupiah khusus Daerah Provinsi Irian Barat (IB Rp).
Uang mulai digunakan pada saat kondisi perekonomian
sedemikian berkembang sehingga perekonomian barter (perekonomian yang
mensyaratkan double coincidence of want) dirasakan tidak
memadai. Uang memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Hal ini
dapat dilihat dari fungsinya, yaitu sebagai alat tukar, alat pengukur nilai,
ukuran pembayaran di masa depan, dan penyimpan daya beli.
Uang adalah suatu benda diantara sekian banyak
benda dalam pengertian perekonomian. Uang memiliki nilai karena masyarakat
mengajukan permintaan terhadapnya. Perubahan-perubahan nilai uang berhubungan
erat dengan perubahanperubahan permintaan terhadapnya. Dengan kata lain, naik
turunnya nilai uang tidak terlepas dari hukum permintaan dan penawaran.
Sehingga, dapat dirumuskan, yang dimaksud dengan nilai uang adalah jumlah
barang-barang atau jasa-jasa yang diberikan oleh orang lain kepada kita sebagai
pengganti satu kesatuan uang yang kita berikan kepadanya. Naik turunnya nilai
uang tergantung dari naik turunnya harga. Pada saat keinginan masyarakat untuk
menyimpan uang tunainya meningkat, hal tersebut akan cenderung menaikan nilai
uang dan menurunkan harga barang. Sebaliknya, pada situasi di mana orang terus
membelanjakan setiap uangnya, hal tersebut akan menurunkan nilai uang dan akan
menaikan harga. Perubahan-perubahan nilai uang akan mempengaruhi aktivitas di
lapangan ekonomi. Naiknya nilai uang akan menyebabkan aktivitas ekonomi semakin
berkurang. Sebaliknya, turunnya nilai uang akan secara lambat laun akan
meningkatkan aktivitas ekonomi. Nilai uang yang secara terus-menerus turun akan
menyebabkan inflasi. Salah satu kebijakan yang digunakan untuk mengatasi
inflasi dalam perekonomian suatu negara adalah kebijakan moneter.
Pada tahun 1965, salah satu kebijakan moneter yang
diambil pemerintah untuk menghambat laju inflasi pada saat itu adalah
pemberlakuan mata uang rupiah baru bagi seluru wilayah Republik Indonesia (RI)
melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965
yang menetapkan penggantian uang lama dengan uang baru dengan perbandingan
nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp 1.000 (baru). Tujuan lain dari Penpres
tersebut adalah untuk mempersiapkan kesatuan moneter bagi seluruh wilayah RI,
termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.
Arah kebijakan 1959-1966
Awal periode ini ditandai dengan tindakan sanering
yang dilakukan oleh Pemerintah yaitu memotong nilai uang sebesar 90% dari nilai
nominal serta membekukan simpanan masyarakat untuk dijadikan simpanan jangka
panjang. Dana simpanan masyarakat pada perbankan yang dibekukan tersebut harus
disetorkan kepada Pemerintah. Akibatnya perbankan mengalami kesulitan likuiditas.
Di bidang politik, Pemerintah menerapkan GBHN baru
yang dinamai Manipol (Manifesto Politik) USDEK (Undang-Undang Dasar 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian
Indonesia). Di bawah era Manipol USDEK ini maka seluruh unsur sumber daya
dikerahkan untuk mendukung perjuangan revolusi, yaitu perjuangan untuk menjadi
bangsa yang berdaulat, bebas dari penjajahan dan bersatu padu membangun
kepribadian & karakter bangsa. Pembangunan bidang politik tersebut disertai
dengan pembangunan prasarana yang secara ekonomis tidak produktif, atau
terkenal dengan sebutan pembangunan proyek mercusuar. Di samping itu, APBN juga
terbebani oleh berbagai pengeluaran baru seperti biaya konfrontasi dengan
Malaysia, pembebasan Irian Barat dari Belanda dan kenaikan gaji pegawai negeri.
Di bidang ekonomi, pembangunan sektor riil masih
juga belum menunjukkan adanya perkembangan sehingga pasokan barang, terutama
pangan tetap mengalami kekurangan. Dampak dari berbagai kondisi tersebut
menimbulkan pembengkakan defisit APBN yang semakin kronis yang disertai pula
oleh defisit cadangan devisa. Sama seperti pada periode sebelumnya, defisit
APBN tersebut ditutuap dengan Uang Muka dari bank Indonesia yang pemenuhannya
dilakukan dengan cara pencetakan uang. Oleh karena itu uang beredar semakin
banyak dan terjadilah hyperinflasi. Tahun 1965/1965 kenaikan inflasi mencapai
635,5% yang sekaligus merupakan inflasi tertinggi sepanjang sejarah
perekonomian Indonesia. Arah kebijakan moneter ditujukan untuk menekan inflasi
tersebut.
Kebijakan Devisa 1959-1966
Pada periode ini rezim devisa terkontrol masih
tetap berlaku, bahkan cenderung semakin diperketat melalui kebijakan pungutan
hasil ekspor dan larangan impor berbagai jenis barang.
Terjadinya keguncangan pasar di luar negeri pada
tahun 1960 an mengakibatkan kemorosotan penerimaan devisa terutama dari ekspor
karet yang menjadi komoditas utama pada waktu itu. Munculnya berbagai jenis
karet sintetis juga memberikan tekanan/ persaingan terhadap hasil ekspor karet
Indonesia. Di samping itu, naiknya impor beras juga sangat membebani cadangan
devisa Indonesia. Untuk mengatasi berbagai tekanan tersebut, Pemerintah sejak
tahun 1964 semakin memperketat kebijakan devisa untuk keperluan impor dan
memberikan berbagai insentif bagi upaya peningkatan ekpor.
Pada akhir tahun 1964 Pemerintah mengeluarkan
Undang-undang No.32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa untuk menggantikan Deviezen
Ordonnantie Tahun 1940 dan Deviezen Verordening Tahun 1940.
Dengan diberlakukannya Undang-undang No.32 ini maka devisa yang dimiliki
masyarakat tidak diharuskan untuk diserahkan kepada Dana devisa. Walaupun
demikian pada dasarnya tetap terkontrol namun tidak dengan cara menyetorkan
kepada Dana Devisa melainkan dengan cara menetapkan penggunaannya melalui
perizinan yang cukup ketat. Untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri,
dilakukan pengawasan terhadap lalu lintas modal.
Upaya untuk memupuk cadangan devisa terus
ditingkatkan, antara lain melalui peningkatan insentif bagi upaya peningkatan ekspor.
Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia
1959-1966
Pada tanggal 25 Agustus 1959, Pemerintah
mengeluarkan paket kebijakan yang dimaksudkan untuk meringankan beban APBN,
memperbaiki posisi neraca pembayaran dan menekan laju inflasi. Isi paket itu
terdiri atas devaluasi Rupiah, sanering dan penyempurnaan kebijakan devisa
serta ketentuan-ketentuan perdagangan internasional.
Devaluasi yang dilakukan adalah mengubah nilai
tukar Rupiah dari Rp.11,4 menjadi Rp.45,- per USD1,- Devaluasi ini selain mampu
meningkatkan ekspor dan mengakibatkan adanya revaluasi pada pos Kekayaan Emas
dan Devisen Bank Indonesia dan bank-bank devisa lainnya, juga mengakibatkan
naiknya inflasi.
Turunnya harga karet di pasar dunia pada waktu itu
merupakan bagian paling besar dari seluruh ekspor Indonesia serta naiknya impor
beras sejak tahun 1957 yang masih terus berlanjut, mengakibatkan anjloknya
cadang devisa pada tahun 1960. Hal tersebut kemudian diatasi antara lain dengan
mendorong ekspor secara umum melalui pemberlakuan kurs tambahan bagi penjualan
devisa hasil ekspor. Dalam ketentuan ini, setiap penyerahan devisa hasil
ekspor, kepada eksportir diberikan tambahan nilai tukar sebesar Rp.270,- per
USD1,- dikalikan 95% dari fob. Sementara itu, kepada importer juga diberlakukan
nilai tukar yang lebih tinggi lagi sesuai golongan barang, yaitu Rp.270,- untuk
golongan I, Rp.540,- untuk golongan II dan Rp.810 untuk golongan III. Peraturan
tersebut kemudian disempurnakan beberapa kali, terakhir pada tanggal 11
Februari 1966 dengan tambahan nilai tukar baik bagi eksportir maupun importer
yang besarnya lebih-kurang 4000% (empat ribu persen) dari kurs tetap Rp45,- per
USD1.
Dengan lain perkataan, nilai tukar tetap sebesat
Rp.45,- per USD1,- tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan penyesuaian-penyesuaian
dengan penerapan multiple exchange rate system.
Kebijakan Utang Luar Negeri 1959-1966
Dalam usaha untuk meringankan beban anggaran
negara, dan memperbaiki posisi neraca pembayaran, salah satu kebijakan yang
ditempuh Pemerintah adalah melalui pinjaman dana dari luar negeri. Seiring
dengan adanya perubahan politik luar negeri, utang luar negeri pemerintah
sebagian besar diperoleh dari pinjaman negara-negara blok Timur, seperti dari
RRC dan USSR. Utang luar negeri tersebut selain dipergunakan untuk membiayai
pendirian proyek-proyek yang bersekala besar, juga dipergunakan untuk membiayai
proyek yang tidak produktif, seperti untuk konfrontasi dengan Malaysia tahun
1964. Jumlah utang luar negeri Pemerintah tersebut telah menambah berat beban
Pemerintah bila diukur dengan kemampuan membayar kembali baik dari sisi
keuangan negara atau tersedianya devisa yang berasal dari ekspor.
Dalam tahun 1959 Indonesia telah mendapat dua
pinjaman luar negeri yakni dari Exim Bank sebesar USD 6,9 juta untuk perluasan
Pabrik Semen Gresik dan USD 5 juta untuk pembelian pesawat Lockheed Electra.
Kemudian pada awal 1960, USEximbank juga telah menjanjikan pemberian pinjaman
sebesar USD 47,5 juta yakni untuk membantu pendirian pabrik Urea di Palembang
dan pembangunan proyek listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di
Surabaya. Kenaikan utang yang cukup besar terjadi pada tahun 1961 dan 1962
yakni utang yang diperoleh dari USSR, dan pada tahun 1963 telah diperoleh utang
baru dari RRC.
Sedangkan kebijakan atau kebijaksanaan pemerintah mempunyai beberapa tingkatan yaitu :
Sedangkan kebijakan atau kebijaksanaan pemerintah mempunyai beberapa tingkatan yaitu :
a. Kebijakan Nasional
Yaitu kebijakan Negara yang bersifat fundamental dan
strategis untuk mencapai tujuan nasional/negara sesuai dengan amanat UUD 1945
GBHN. Kewenangan dalam pembuat kebijaksanaan adalah MPR, dan Presiden
bersama-sama dengan DPR. Bentuk kebijaksanaan nasional yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan dapat berupa :
1) UUD 1945
2) Ketetapan MPR
3) Undang-Undang
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) dibuat oleh Presiden dalam hal kepentingan memaksa setelah mendapat
persetujuan DPR.
b. Kebijaksanaan Umum
Kebijaksanaan
yang dilakukan oleh Presiden yang bersifat nasional dan menyeluruh berupa
penggarisan ketentuan-ketentuan yang bersifat garis besar dalam rangka pelaksanaan
tugas umum pemerintahan dan pembangunan sebagai pelaksanaan UUD 1945, Ketetapan
MPR maupun Undang-Undang guna mencapai tujuan nasional.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar