Kamis, 06 Juni 2013

Tugas Mata Kuliah Softskill Perekonomian Indonesia BAB VIII

Kebijakan Pemerintah
Pengertian kebijakan pemerintah pada prinsipnya dibuat atau atas dasar kebijakan yang bersifat luas. Menurut Werf (1997) yang dimaksud dengan kebijakan adalah usaha mencapai tujuan tertentu dengan sasaran tertentu dan dalam urutan tertentu. Sedangkan kebijakan pemerintah mempunyai pengertian baku yaitu suatu keputusan yang dibuat secara sistematik oleh pemerintah dengan maksud dan tujuan tertentu yang menyangkut kepentingan umum (Anonimous, 1992).
Sesuai dengan sistem administrasi Negara Republik Indonesia kebijakan dapat terbagi 2 (dua) yaitu :
1.      Kebijakan internal (manajerial), yaitu kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat aparatur dalam organisasi pemerintah sendiri.
2.      Kebijakan eksternal (publik), suatu kebijakan yang mengikat masyarakat umum. Sehingga dengan kebijakan demikian kebijakan harus tertulis.

Pengertian kebijakan pemerintah sama dengan kebijaksanaan berbagai bentuk seperti misalnya jika dilakukan oleh Pemerintah Pusat berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri (Kepmen) dan lain-lain. Sedangkan jika kebijakan pemerintah tersebut dibuat oleh Pemerintah Daerah akan melahirkan Surat Keputusan (SK), Peraturan Daerah (Perda) dan lain-lain.

Kebijakan Moneter 13 Desember 1965
Mulai tahun 1960, kebutuhan anggaran pemerintah untuk proyek-proyek politik semakin meningkat akibat isu konfrontasi yang terus dilakukan dengan Belanda dan Malaysia. Hal ini juga disebabkan oleh besarnya pengeluran pemerintah untuk membiayai proyek-proyek mercusuar, seperti Games of the New Emerging Forces (Ganefo) dan Conference of the Emerging Forces (Conefo). Dalam rangka mempersiapkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah menerbitkan sebuah alat pembayaran yang sah yang berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27/1965. Ketentuan tersebut mencakup nilai perbandingan antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus untuk Irian Barat -Rp 1 (baru) = Rp 1.000 (lama) dan Rp 1 (baru) = IB Rp 1-, serta pencabutan uang kertas Bank Negara Indonesia, uang kertas dan uang logam pemerintah yang telah beredar sebelum diberlakukannya Penpres tersebut. Sejak saat itu sampai bulan Agustus 1966, uang rupiah baru dan uang rupiah lama beredar bersama-sama. Untuk menghilangkan dualisme tersebut, semua instansi swasta diwajibkan untuk menggunakan nilai uang rupiah baru dalam perhitungan harga barang dan jasa serta keperluan administrasi keuangan. Meskipun uang rupiah baru bernilai 1.000 kali uang rupiah lama, tidak berarti bahwa harga-harga menjadi seperseribu harga lamanya. Kebijakan ini justru meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang beredar, dan inflasi.
Bayangkan bila dalam suatu negara terdapat beberapa jenis mata uang yang berlaku dengan nilai tukar yang berbeda-beda. Hal itu tentu saja, akan menyebabkan situasi moneter negara tersebut kacau balau. Keadaan tersebut pernah dialami Indonesia pada kurun waktu 1960-an. Dalam rangka menciptakan kesatuan moneter, pemerintah, melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun 1965, menerbitkan uang rupiah baru untuk menggantikan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus Daerah Provinsi Irian Barat (IB Rp).
Uang mulai digunakan pada saat kondisi perekonomian sedemikian berkembang sehingga perekonomian barter (perekonomian yang mensyaratkan double coincidence of want) dirasakan tidak memadai. Uang memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari fungsinya, yaitu sebagai alat tukar, alat pengukur nilai, ukuran pembayaran di masa depan, dan penyimpan daya beli.
Uang adalah suatu benda diantara sekian banyak benda dalam pengertian perekonomian. Uang memiliki nilai karena masyarakat mengajukan permintaan terhadapnya. Perubahan-perubahan nilai uang berhubungan erat dengan perubahanperubahan permintaan terhadapnya. Dengan kata lain, naik turunnya nilai uang tidak terlepas dari hukum permintaan dan penawaran. Sehingga, dapat dirumuskan, yang dimaksud dengan nilai uang adalah jumlah barang-barang atau jasa-jasa yang diberikan oleh orang lain kepada kita sebagai pengganti satu kesatuan uang yang kita berikan kepadanya. Naik turunnya nilai uang tergantung dari naik turunnya harga. Pada saat keinginan masyarakat untuk menyimpan uang tunainya meningkat, hal tersebut akan cenderung menaikan nilai uang dan menurunkan harga barang. Sebaliknya, pada situasi di mana orang terus membelanjakan setiap uangnya, hal tersebut akan menurunkan nilai uang dan akan menaikan harga. Perubahan-perubahan nilai uang akan mempengaruhi aktivitas di lapangan ekonomi. Naiknya nilai uang akan menyebabkan aktivitas ekonomi semakin berkurang. Sebaliknya, turunnya nilai uang akan secara lambat laun akan meningkatkan aktivitas ekonomi. Nilai uang yang secara terus-menerus turun akan menyebabkan inflasi. Salah satu kebijakan yang digunakan untuk mengatasi inflasi dalam perekonomian suatu negara adalah kebijakan moneter.
Pada tahun 1965, salah satu kebijakan moneter yang diambil pemerintah untuk menghambat laju inflasi pada saat itu adalah pemberlakuan mata uang rupiah baru bagi seluru wilayah Republik Indonesia (RI) melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965 yang menetapkan penggantian uang lama dengan uang baru dengan perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp 1.000 (baru). Tujuan lain dari Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan kesatuan moneter bagi seluruh wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.

Arah kebijakan 1959-1966
Awal periode ini ditandai dengan tindakan sanering yang dilakukan oleh Pemerintah yaitu memotong nilai uang sebesar 90% dari nilai nominal serta membekukan simpanan masyarakat untuk dijadikan simpanan jangka panjang. Dana simpanan masyarakat pada perbankan yang dibekukan tersebut harus disetorkan kepada Pemerintah. Akibatnya perbankan mengalami kesulitan likuiditas.
Di bidang politik, Pemerintah menerapkan GBHN baru yang dinamai Manipol (Manifesto Politik) USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Di bawah era Manipol USDEK ini maka seluruh unsur sumber daya dikerahkan untuk mendukung perjuangan revolusi, yaitu perjuangan untuk menjadi bangsa yang berdaulat, bebas dari penjajahan dan bersatu padu membangun kepribadian & karakter bangsa. Pembangunan bidang politik tersebut disertai dengan pembangunan prasarana yang secara ekonomis tidak produktif, atau terkenal dengan sebutan pembangunan proyek mercusuar. Di samping itu, APBN juga terbebani oleh berbagai pengeluaran baru seperti biaya konfrontasi dengan Malaysia, pembebasan Irian Barat dari Belanda dan kenaikan gaji pegawai negeri.
Di bidang ekonomi, pembangunan sektor riil masih juga belum menunjukkan adanya perkembangan sehingga pasokan barang, terutama pangan tetap mengalami kekurangan. Dampak dari berbagai kondisi tersebut menimbulkan pembengkakan defisit APBN yang semakin kronis yang disertai pula oleh defisit cadangan devisa. Sama seperti pada periode sebelumnya, defisit APBN tersebut ditutuap dengan Uang Muka dari bank Indonesia yang pemenuhannya dilakukan dengan cara pencetakan uang. Oleh karena itu uang beredar semakin banyak dan terjadilah hyperinflasi. Tahun 1965/1965 kenaikan inflasi mencapai 635,5% yang sekaligus merupakan inflasi tertinggi sepanjang sejarah perekonomian Indonesia. Arah kebijakan moneter ditujukan untuk menekan inflasi tersebut.

Kebijakan Devisa 1959-1966
Pada periode ini rezim devisa terkontrol masih tetap berlaku, bahkan cenderung semakin diperketat melalui kebijakan pungutan hasil ekspor dan larangan impor berbagai jenis barang.
Terjadinya keguncangan pasar di luar negeri pada tahun 1960 an mengakibatkan kemorosotan penerimaan devisa terutama dari ekspor karet yang menjadi komoditas utama pada waktu itu. Munculnya berbagai jenis karet sintetis juga memberikan tekanan/ persaingan terhadap hasil ekspor karet Indonesia. Di samping itu, naiknya impor beras juga sangat membebani cadangan devisa Indonesia. Untuk mengatasi berbagai tekanan tersebut, Pemerintah sejak tahun 1964 semakin memperketat kebijakan devisa untuk keperluan impor dan memberikan berbagai insentif bagi upaya peningkatan ekpor.
Pada akhir tahun 1964 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa untuk menggantikan Deviezen Ordonnantie Tahun 1940 dan Deviezen Verordening Tahun 1940. Dengan diberlakukannya Undang-undang No.32 ini maka devisa yang dimiliki masyarakat tidak diharuskan untuk diserahkan kepada Dana devisa. Walaupun demikian pada dasarnya tetap terkontrol namun tidak dengan cara menyetorkan kepada Dana Devisa melainkan dengan cara menetapkan penggunaannya melalui perizinan yang cukup ketat. Untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri, dilakukan pengawasan terhadap lalu lintas modal.
Upaya untuk memupuk cadangan devisa terus ditingkatkan, antara lain melalui peningkatan insentif bagi upaya peningkatan ekspor.

Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia 1959-1966
Pada tanggal 25 Agustus 1959, Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang dimaksudkan untuk meringankan beban APBN, memperbaiki posisi neraca pembayaran dan menekan laju inflasi. Isi paket itu terdiri atas devaluasi Rupiah, sanering dan penyempurnaan kebijakan devisa serta ketentuan-ketentuan perdagangan internasional.
Devaluasi yang dilakukan adalah mengubah nilai tukar Rupiah dari Rp.11,4 menjadi Rp.45,- per USD1,- Devaluasi ini selain mampu meningkatkan ekspor dan mengakibatkan adanya revaluasi pada pos Kekayaan Emas dan Devisen Bank Indonesia dan bank-bank devisa lainnya, juga mengakibatkan naiknya inflasi.
Turunnya harga karet di pasar dunia pada waktu itu merupakan bagian paling besar dari seluruh ekspor Indonesia serta naiknya impor beras sejak tahun 1957 yang masih terus berlanjut, mengakibatkan anjloknya cadang devisa pada tahun 1960. Hal tersebut kemudian diatasi antara lain dengan mendorong ekspor secara umum melalui pemberlakuan kurs tambahan bagi penjualan devisa hasil ekspor. Dalam ketentuan ini, setiap penyerahan devisa hasil ekspor, kepada eksportir diberikan tambahan nilai tukar sebesar Rp.270,- per USD1,- dikalikan 95% dari fob. Sementara itu, kepada importer juga diberlakukan nilai tukar yang lebih tinggi lagi sesuai golongan barang, yaitu Rp.270,- untuk golongan I, Rp.540,- untuk golongan II dan Rp.810 untuk golongan III. Peraturan tersebut kemudian disempurnakan beberapa kali, terakhir pada tanggal 11 Februari 1966 dengan tambahan nilai tukar baik bagi eksportir maupun importer yang besarnya lebih-kurang 4000% (empat ribu persen) dari kurs tetap Rp45,- per USD1.
Dengan lain perkataan, nilai tukar tetap sebesat Rp.45,- per USD1,- tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan penerapan multiple exchange rate system.

Kebijakan Utang Luar Negeri 1959-1966
Dalam usaha untuk meringankan beban anggaran negara, dan memperbaiki posisi neraca pembayaran, salah satu kebijakan yang ditempuh Pemerintah adalah melalui pinjaman dana dari luar negeri. Seiring dengan adanya perubahan politik luar negeri, utang luar negeri pemerintah sebagian besar diperoleh dari pinjaman negara-negara blok Timur, seperti dari RRC dan USSR. Utang luar negeri tersebut selain dipergunakan untuk membiayai pendirian proyek-proyek yang bersekala besar, juga dipergunakan untuk membiayai proyek yang tidak produktif, seperti untuk konfrontasi dengan Malaysia tahun 1964. Jumlah utang luar negeri Pemerintah tersebut telah menambah berat beban Pemerintah bila diukur dengan kemampuan membayar kembali baik dari sisi keuangan negara atau tersedianya devisa yang berasal dari ekspor.
Dalam tahun 1959 Indonesia telah mendapat dua pinjaman luar negeri yakni dari Exim Bank sebesar USD 6,9 juta untuk perluasan Pabrik Semen Gresik dan USD 5 juta untuk pembelian pesawat Lockheed Electra. Kemudian pada awal 1960, USEximbank juga telah menjanjikan pemberian pinjaman sebesar USD 47,5 juta yakni untuk membantu pendirian pabrik Urea di Palembang dan pembangunan proyek listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Surabaya. Kenaikan utang yang cukup besar terjadi pada tahun 1961 dan 1962 yakni utang yang diperoleh dari USSR, dan pada tahun 1963 telah diperoleh utang baru dari RRC.

Sedangkan kebijakan atau kebijaksanaan pemerintah mempunyai beberapa tingkatan yaitu : 
a. Kebijakan Nasional
Yaitu kebijakan Negara yang bersifat fundamental dan strategis untuk mencapai tujuan nasional/negara sesuai dengan amanat UUD 1945 GBHN. Kewenangan dalam pembuat kebijaksanaan adalah MPR, dan Presiden bersama-sama dengan DPR. Bentuk kebijaksanaan nasional yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa :
1) UUD 1945
2) Ketetapan MPR
3) Undang-Undang
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dibuat oleh Presiden dalam hal kepentingan memaksa setelah mendapat persetujuan DPR.

b. Kebijaksanaan Umum
Kebijaksanaan yang dilakukan oleh Presiden yang bersifat nasional dan menyeluruh berupa penggarisan ketentuan-ketentuan yang bersifat garis besar dalam rangka pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan sebagai pelaksanaan UUD 1945, Ketetapan MPR maupun Undang-Undang guna mencapai tujuan nasional.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar